ACHEHNETWORK.COM – Pencurian tidak hanya menimpa rakyat biasa, bahkan seorang raja besar pun bisa menjadi korban.
Inilah yang terjadi pada Sultan Siak, Syarif Kasim II, yang merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia.
Pada Agustus 1967, ia harus menerima kenyataan pahit ketika kursi takhta berlapis emas yang telah menjadi simbol kekuasaannya selama puluhan tahun dicuri dari kediamannya.
Syarif Kasim II bukanlah sembarang penguasa.
Ia berhasil mengumpulkan kekayaan besar dari sektor perkebunan, pertanian, dan pertambangan minyak di wilayah kekuasaannya, Riau.
Di tahun 1930, perusahaan besar Amerika Serikat, Standard Oil Company of California, mulai menambang minyak di wilayahnya, memberikan dampak besar pada ekonomi Siak dan mempertebal kantong pribadi sang Sultan.
Namun, meskipun kaya raya, Syarif Kasim II dikenal sebagai pemimpin yang dermawan. Dalam otobiografinya, Sultan Syarif Kasim II: Pahlawan Nasional dari Riau (2002), ia diceritakan sering menggunakan hartanya untuk membangun fasilitas publik dan menyediakan beasiswa bagi masyarakat.
Sikap filantropisnya membuatnya dihormati, namun tidak menjauhkan dirinya dari nasib buruk yang terjadi pada akhir 1960-an.
Pada akhir Agustus 1967, sebuah kejadian mengejutkan terjadi. Kursi takhta kerajaan berlapis emas yang berada di ruang kerjanya hilang dicuri.
Hal ini membuat Syarif Kasim II, yang saat itu sudah berusia 72 tahun, sangat terkejut.
“Saya tidak pernah menyangka ada yang akan mencuri kursi itu,” ujar sang Sultan dalam keterangannya saat itu, seperti dilaporkan Harian Angkatan Bersenjata pada 8 September 1967.
Selama bertahun-tahun, meski terjadi berbagai gejolak dan kerusuhan, kursi emas tersebut tetap aman di kediaman Sultan.
Namun, pencurian ini membuat otoritas setempat bingung. Hingga kini, pelakunya tidak pernah ditemukan, dan kursi bersejarah itu seakan hilang tanpa jejak.
Bagi Syarif Kasim II, kehilangan kursi emas itu menjadi pukulan besar. Di masa kejayaannya, Sultan Siak ini dikenal sebagai salah satu raja paling berkuasa di Indonesia.
Namun, setelah Indonesia merdeka, Syarif Kasim II memilih untuk bergabung dengan Republik Indonesia, mengikuti jejak Sultan Hamengkubuwana IX dari Yogyakarta.
Kesetiaannya kepada Indonesia tidak hanya dalam bentuk dukungan politik, tetapi juga finansial. Ia bahkan menyumbangkan 13 juta gulden, setara miliaran rupiah saat ini, untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tak hanya itu, ia juga menyerahkan 30% dari emas simpanan kesultanan kepada pemerintah.
Namun, keputusan untuk tunduk pada pemerintahan baru Indonesia membawa konsekuensi yang besar bagi Syarif Kasim II.
Kekuasaan politiknya perlahan memudar, dan aksesnya terhadap sektor ekonomi utama seperti pertambangan minyak, perkebunan, dan pertanian mulai berkurang drastis.
Kekayaan yang dulunya melimpah pun ikut menurun seiring berjalannya waktu.
Ketika pencurian kursi emas itu terjadi, kehidupan Syarif Kasim II sudah jauh berbeda dari masa kejayaannya.
Pencurian tersebut seolah menjadi simbol dari keruntuhan kekuasaan dan kekayaannya, meninggalkan Sultan Siak dengan kenangan masa lalu yang penuh kejayaan, namun perlahan memudar bersama hilangnya harta benda bersejarahnya.***
Editor : ADM