![]() |
Lukisan Benteng Pidie/sumber situs De Nederlandse Krijgsmacht |
AchehNetwork.com – Kerajaan Pedir, yang kini dikenal sebagai Negeri Pidie, merupakan sebuah kerajaan yang berlokasi di Sebelah Timur Aceh (sebelah Timur Aceh Besar sekarang).
Pada zaman purba, kerajaan ini memiliki wilayah yang luas dari Kuala Batee hingga Kuala Ulim, termasuk Meureudu.
Meskipun asal-usul nama “Pidie” masih misterius, bangsa Portugis menyebutnya “Pidir” atau “Pedir,” sementara bangsa Cina mengenalnya sebagai “Poli.”
Sejarah dari Perspektif Tiongkok
Pada abad ke-5 Masehi, tepatnya tahun 413, seorang musafir Tiongkok bernama Fa Hian mencatat kunjungannya ke Poli (Pidie) selama perjalanan ke Sumatera Utara.
Ia melaporkan bahwa Poli memiliki luas sekitar 100×200 mil, dengan perjalanan 50 hari dari Timur ke Barat dan 20 hari dari Utara ke Selatan.
Negeri ini terdiri dari 136 desa yang makmur dengan sistem pertanian yang mirip dengan Persia dan India.
Fa Hian juga mencatat bahwa Poli memelihara ulat sutera dan memproduksi kain seperti negeri Syam.
Raja Poli pada saat itu beragama Buddha dan bahkan mengirimkan utusan ke Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik pada tahun 518 Masehi.
Dia menggambarkan Poli sebagai negeri yang makmur, dengan raja yang mengendarai gajah bermahkota emas.
Pada tahun 671 Masehi, musafir Tiongkok lainnya, I Tsing, mengunjungi pesisir Aceh, termasuk Poli.
I Tsing mengamati bahwa masyarakat di daerah-daerah tersebut masih dalam keadaan liar, menunjukkan keberagaman budaya di kawasan tersebut.
Pengamatan dari Dunia Arab dan Persia
Pada abad pertama Islam (717 Masehi), ekspedisi yang dipimpin oleh Zahid berlayar ke berbagai wilayah, termasuk Aceh.
Mereka singgah di Aceh untuk membeli rempah-rempah dan barang-barang berharga lainnya. Beberapa kapal bahkan membawa bibit lada dari Madagaskar untuk ditanam di Aceh.
Pada tahun 950 Masehi, orang Arab mengunjungi daerah sekitar Poli dan mencatat bahwa tanah Pidie sangat subur untuk padi dan lada berkualitas tinggi.
Bahkan, lada Pidie dikenal sebagai yang terbaik dalam perdagangan Arab.
Catatan Portugis dan Pengaruhnya
Ketika Portugis tiba pada tahun 1509 Masehi, mereka menemukan bahwa Kerajaan Aceh (Aceh Besar) telah menguasai Pidie.
Namun, setelah beberapa pertarungan, Pidie berhasil merebut kembali kendali dan membentuk Kesultanan Aceh Darussalam, termasuk Pidie, sebagai salah satu wilayahnya.
Sultan Ali Mughayat Syah, setelah merebut Aceh, memproklamirkan Kesultanan Aceh Darussalam yang meliputi wilayah-wilayah penting lainnya.
Ludovico di Varthema, seorang pelawat Portugis dari akhir abad ke-15, mencatat bahwa Pedir adalah negeri maju yang ramai dikunjungi kapal asing untuk mengangkut lada, kemenyan, dan sutra.
Pelabuhan Pedir menjadi pusat perdagangan yang sibuk dengan banyak pendatang dari berbagai bangsa.
Peranan Kerajaan Pidie dalam Kesultanan Aceh Darussalam
Setelah bergabung dengan Kesultanan Aceh Darussalam, Kerajaan Pidie tetap mempertahankan perannya sebagai kerajaan otonom.
Raja Pidie memiliki suara penting dalam keputusan-keputusan besar, dan beberapa raja dari Pidie bahkan menjadi Sultan Aceh Darussalam.
Berikut adalah beberapa raja terkenal dari Pidie:
- Maharaja Sulaiman Noer: Anak dari Sultan Husein Syah.
- Maharaja Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
- Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer, meninggal pada 1511 Masehi.
- Maharaja Ahmad Syah: Putra Maharaja Ma’roef Syah, pernah berperang melawan Sultan Ali Mughayat Syah.
- Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II, menggantikan ayahnya sebagai Sultan Aceh.
- Maharaja Saidil Mukamil: Putra Maharaja Firman Syah, Sultan Aceh dari 1589 sampai 1604 Masehi.
- Maharaja Meurah Poli: Laksamana terkenal dalam perang Malaka.
- Meurah Po Thahir: Terkenal dalam perang Pocut Muhammad, dengan Potue Djemaloy pada tahun 1740 Masehi.
Daerah di Bawah Kerajaan Pidie
Kerajaan Pidie terdiri dari beberapa daerah yang dikelola oleh Uleebalang, termasuk:
- Meuntroe Banggalang
- Meuntroe Garot
- Bentara Ribee
- Imum Peutawo Andeue
- Meuntroe Gampong Aree
- Bentara Po Puteh Mukim VIII
- Imum Lhok Kaju
- Meuntroe Meutareum
- Mentroe Krueng Seumideun
- Bentara Pineung
- Bentara Gigieng
- Bentara Blang Ratna Wangsa
- Panglima Meugoe
- Bentara Keumangan
- Meuntroe Adan
- Bentara Seumasat Geulumpang Payong
- Bentara Blang Gapu (Ie Leubeu)
- Bentara Gampong Asan
- Bentara Nyong
- Bentara Putu
- Bentara Alue
- Keujruen Aron
- Keujreun Pecalang Rimba Truseb
- Bentara Cumbok
- Bentara Titeue
- Bentara Keumala
- Keujreun Pante Raja
- Keujruen Peurambat Pangwa
- Keujruen Chik Meureudu
Kerajaan Pidie, dengan segala kejayaannya, meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Aceh dan Sumatera.
Dari pusat perdagangan yang sibuk hingga peranan penting dalam Kesultanan Aceh Darussalam, Pidie tetap menjadi bagian integral dari warisan sejarah regional.***
Editor : ADM
Sumber : tengkuputeh.com