Laut Aral, Dulu Danau Terbesar ke Empat di Dunia yang Kini Menyusut Jadi Gurun Tandus dan Gersang, Akibat Ulah Manusia - Acheh Network

Laut Aral, Dulu Danau Terbesar ke Empat di Dunia yang Kini Menyusut Jadi Gurun Tandus dan Gersang, Akibat Ulah Manusia

Sabtu, 23 Maret 2024 - 10:20 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

Laut Aral
Penampakan bangkai kapal di atas tanah bekas laut/ sumber foto: Britanica

 

AchehNetwork.com – Pernahkah kamu membayangkan sebuah danau raksasa bisa lenyap begitu saja dari peta dunia? Inilah kisah tragis Laut Aral, yang dulunya menjadi salah satu danau terbesar di dunia, kini berubah menjadi padang gersang akibat ambisi manusia yang tak terkendali.

Pada tahun 1960-an, Uni Soviet meluncurkan proyek besar-besaran untuk mengubah dataran gersang di Asia Tengah—khususnya wilayah Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan—menjadi lahan pertanian yang subur. Dua sungai besar, Syr Darya dan Amu Darya, menjadi kunci utama dalam misi besar ini.

Ambisi Besar Soviet: Mengubah Gurun Jadi Ladang Kapas

Dengan mengalihkan aliran air dari sungai-sungai tersebut, Uni Soviet menciptakan sistem irigasi yang sangat luas.

Baca Juga :  5 Etnis Terbesar di Asia Tenggara, 2 di Antaranya Ada di Indonesia

Gurun tandus pun berubah menjadi ladang hijau yang dipenuhi kapas dan tanaman pangan. Sebuah keberhasilan teknis yang luar biasa—tapi ada harga mahal yang harus dibayar.

Korban dari proyek ini adalah Laut Aral, yang sebelumnya menempati posisi keempat sebagai danau terbesar di dunia.

Air dari dua sungai utama yang mengalir ke danau itu perlahan-lahan dialihkan ke lahan pertanian, dan akibatnya, Laut Aral mulai menyusut drastis.

Perubahan Mengguncang dari Mata Langit

Melalui citra satelit dari NASA Earth Observatory, terlihat jelas bagaimana Laut Aral menyusut dari tahun ke tahun. Di awal abad ke-21, danau ini terbelah menjadi dua bagian: Laut Aral Utara dan Laut Aral Selatan.

Kazakhstan membangun bendungan Kok-Aral untuk mempertahankan bagian utara. Hasilnya cukup positif—perikanan lokal mulai bangkit kembali. Namun, bagian selatan menderita nasib yang lebih tragis.

Baca Juga :  Dari Cemoohan hingga Cemerlang: 15 Penemuan Menakjubkan yang Awalnya Diremehkan Sekarang Dibutuhkan

Laut Aral Selatan: Padang Debu yang Menyimpan Luka

Laut Aral Selatan menyusut begitu drastis hingga pada tahun 2014, lobus timurnya benar-benar mengering.

Air yang tersisa menjadi asin, kotor, dan tercemar limbah pertanian—membahayakan kehidupan manusia dan ekosistem di sekitarnya.

Yang lebih menyedihkan, dasar danau yang kering berubah menjadi sumber debu beracun. Angin membawa debu asin ini ke lahan pertanian dan pemukiman, menghancurkan tanaman, mencemari udara, serta memperburuk kesehatan masyarakat sekitar.

Selain itu, iklim lokal juga berubah drastis. Tanpa massa air besar untuk menyeimbangkan suhu, musim panas menjadi lebih panas dan kering, sedangkan musim dingin semakin ekstrem.

Baca Juga :  Perjuangan Tak Pernah Pudar: Kisah Cut Nyak Dhien, Pahlawan Wanita Aceh yang Dikhianati dan Tetap Berjuang

Harapan yang Masih Menyala di Tengah Kehancuran

Meskipun hanya sebagian kecil yang tersisa, Laut Aral masih hidup—dan menjadi simbol perjuangan serta kesadaran manusia atas dampak dari keputusan masa lalu.

Upaya restorasi oleh pemerintah Kazakhstan menunjukkan bahwa masih ada harapan untuk menyelamatkan alam, walaupun tidak sepenuhnya bisa mengembalikan kejayaan sebelumnya.

Pelajaran Berharga dari Laut Aral

Kisah Laut Aral bukan hanya tentang kerusakan lingkungan, tetapi juga menjadi peringatan global tentang ambisi manusia dan konsekuensinya.

Sungai yang dulu membawa kehidupan, kini menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi ekologi yang nyaris terlupakan.

Semoga dari cerita ini, kita bisa belajar untuk lebih bijak dalam mengelola sumber daya alam demi keberlanjutan masa depan.

Editor : ADM

Sumber : earthobservatory.nasa.gov

Artikel Terkait

Legenda Pasukan “Zombie” Aceh: Keberanian yang Bikin Belanda Ketakutan
Meugang: Tradisi Sakral Masyarakat Aceh yang Kaya Akan Makna dan Kebersamaan
Tommy Soeharto dan Misteri Pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita: Skandal Besar yang Mengguncang Indonesia
Awal Mula Hancurnya Negara Suriah: Pelajaran yang Bisa Dipetik untuk Indonesia
Tradisi Bakar Batu: Ritual Adat Penuh Makna di Pegunungan Papua
Skandal Polisi Rahasia Cina yang Terbongkar: Pengakuan Mengejutkan dari Mantan Agen
10 Maskapai LCC dengan Ketepatan Waktu Terbaik di Dunia 2024, Indonesia AirAsia Masuk 10 Besar
Aztec Death Whistle: Peluit Mengerikan yang Menyeramkan dengan Suara Jeritan Manusia dan Sejarah Peradaban Aztek

           
Konten berikut adalah iklan platform MGID, media kami tidak terkait dengan materi konten tersebut

Artikel Terkait

Rabu, 26 Maret 2025 - 12:29 WIB

Legenda Pasukan “Zombie” Aceh: Keberanian yang Bikin Belanda Ketakutan

Jumat, 28 Februari 2025 - 17:14 WIB

Meugang: Tradisi Sakral Masyarakat Aceh yang Kaya Akan Makna dan Kebersamaan

Kamis, 30 Januari 2025 - 17:33 WIB

Tommy Soeharto dan Misteri Pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita: Skandal Besar yang Mengguncang Indonesia

Kamis, 30 Januari 2025 - 16:29 WIB

Awal Mula Hancurnya Negara Suriah: Pelajaran yang Bisa Dipetik untuk Indonesia

Kamis, 30 Januari 2025 - 15:43 WIB

Tradisi Bakar Batu: Ritual Adat Penuh Makna di Pegunungan Papua

Kamis, 30 Januari 2025 - 15:24 WIB

Skandal Polisi Rahasia Cina yang Terbongkar: Pengakuan Mengejutkan dari Mantan Agen

Kamis, 30 Januari 2025 - 09:48 WIB

10 Maskapai LCC dengan Ketepatan Waktu Terbaik di Dunia 2024, Indonesia AirAsia Masuk 10 Besar

Rabu, 29 Januari 2025 - 16:51 WIB

Aztec Death Whistle: Peluit Mengerikan yang Menyeramkan dengan Suara Jeritan Manusia dan Sejarah Peradaban Aztek

Berita Terkini