ACHEHNETWORK.COM – Tradisi Meugang atau Makmeugang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya rakyat Aceh. Bahkan bagi mereka yang merantau ke luar daerah, tradisi ini tetap diingat dan dijaga sebagai warisan leluhur yang penuh makna.
Sejarah Meugang sendiri berakar kuat sejak masa kejayaan Kesultanan Aceh, terutama pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda di abad ke-17. Kala itu, hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, hingga itik disembelih dalam jumlah besar, lalu dagingnya dibagikan secara gratis kepada rakyat.
Tradisi Penuh Makna dan Kebersamaan
Meugang bukan sekadar ritual makan daging menjelang hari besar Islam, tetapi juga simbol rasa syukur, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Biasanya, Meugang dilakukan dua hari sebelum Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, di mana rakyat Aceh membeli atau menerima daging untuk diolah menjadi hidangan spesial bagi keluarga.
Dalam sejarahnya, Sultan Aceh bukan hanya membagikan daging kepada rakyatnya, tetapi juga menyalurkan bantuan sembako dan kain kepada mereka yang kurang mampu. Hal ini menunjukkan betapa tradisi Meugang tidak hanya berbicara soal kuliner, tetapi juga nilai gotong royong dan kesejahteraan sosial.
Qanun Meugang: Aturan Kesultanan untuk Berbagi
Menurut sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi, tradisi Meugang telah berlangsung lebih dari 400 tahun dan memiliki dasar hukum dalam sistem pemerintahan Kesultanan Aceh.
Kala itu, Sultan mengeluarkan qanun (hukum adat) Meukuta Alam, yang mengatur bahwa setiap hari Meugang, pihak kesultanan melalui Qadi Mua’zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi wajib mengumpulkan dirham, kain, serta hewan ternak untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Dengan aturan ini, Meugang menjadi lebih dari sekadar tradisi tahunan—ia berkembang menjadi bagian dari sistem sosial yang memastikan setiap orang, termasuk fakir miskin dan kaum dhuafa, bisa merayakan hari besar dengan layak.
Meugang, dari Dulu Hingga Kini
Meskipun zaman telah berubah, semangat Meugang tetap hidup di tengah rakyat Aceh. Hingga kini, menjelang Ramadan dan hari raya, pasar-pasar di Aceh selalu dipenuhi dengan orang-orang yang berburu daging, menjadikan Meugang sebagai momen sakral dan penuh kehangatan keluarga.
Lebih dari sekadar budaya, Meugang adalah manifestasi kepedulian sosial yang diwariskan turun-temurun, membuktikan bahwa nilai berbagi dan kebersamaan tetap menjadi jiwa dalam kehidupan rakyat Aceh.***
Editor : ADM