Perlawanan Aceh Melawan Penjajah Belanda: Dari Lahirnya Lembaga Wali Nanggroe hingga Kepemimpinan Teungku Chik Di Tiro - Acheh Network

Perlawanan Aceh Melawan Penjajah Belanda: Dari Lahirnya Lembaga Wali Nanggroe hingga Kepemimpinan Teungku Chik Di Tiro

Minggu, 28 Januari 2024 - 13:57 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Teungku Chik Ditiro
Lukisan Teungku Chik Ditiro/Foto: Biografi Pahlawan

AchehNetwork.com – Pada tanggal 28 Januari 1874, sejarah Aceh mencatat peristiwa penting dengan meninggalnya Sultan Alaidin Mahmud Syah di Lueng Bata.

Momen ini menjadi titik awal perubahan besar dalam pemerintahan Aceh, di mana putra mahkota Muhammad Daud Syah diangkat sebagai raja.

Namun, pengangkatan ini hanyalah simbol, karena pemerintahan sebenarnya dijalankan oleh kabinet perang. Pada hari yang sama, lembaga Wali Nanggroe pun dibentuk.

Inisiatif pembentukan lembaga Wali Nanggroe berasal dari musyawarah yang diprakarsai oleh Ketua Majelis Tuha Peuet Kerajaan Aceh, Tuanku Muhammad Raja Keumala.

Tujuan utama lembaga ini adalah untuk mempersatukan rakyat Aceh di bawah satu komando, khususnya dalam melawan penjajah Belanda yang sedang mengancam.

Para ulama dan kabinet perang Aceh, yang tergabung dalam Majelis Tuha Peuet Kerajaan Aceh, turut hadir dalam rapat pembentukan lembaga ini.

Keputusan untuk membentuk lembaga Wali Nanggroe diambil dalam musyawarah pada 28 Januari 1874.

Baca Juga :  Mengintip Daerah Paling Beruntung di Aceh: 5 Kabupaten dengan Jumlah Penduduk Miskin Terendah di Aceh

Tuanku Muhammad Raja Keumala memimpin keputusan tersebut dengan tujuan mempersatukan rakyat Aceh dalam perang melawan penjajah Belanda.

Diangkatlah Teungku Chik Di Tiro dengan gelar Al Malik Al Mukarram Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman Bin Abdullah sebagai Wali Nanggroe.

Peran Wali Nanggroe, dalam hal ini Teungku Chik Di Tiro, menjadi sangat signifikan dalam mempersatukan dan memimpin perlawanan rakyat Aceh.

Bersama ribuan pejuang Aceh, Wali Nanggroe giat melakukan serangan terhadap bivak-bivak dan benteng pertahanan Belanda.

Pasukan Belanda merasa kesulitan menghadapi taktik gerilya yang digunakan oleh pejuang Aceh di bawah kepemimpinan Teungku Chik Di Tiro.

Meskipun Gubernur Sipil dan Militer Belanda, Jenderal Laging Tobias, mencoba menjalin perdamaian dengan Teungku Chik Di Tiro, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Perang terus berkecamuk, dan Belanda akhirnya mengambil kebijakan “Lini Konsentrasi” yang melibatkan penempatan tentara Belanda dalam kamp-kamp dan benteng-benteng terpusat untuk menghindari konflik langsung.

Baca Juga :  Mengapa Bahasa Belanda Tidak Populer di Indonesia Pasca-Kolonialisme? Ini Alasannya..

Kebijakan ini, meski menciptakan benteng-benteng di wilayah Aceh Besar yang dihubungkan dengan lori, ternyata tidak mampu memaksa pasukan Aceh menyerah.

Sebaliknya, perlawanan terus berlanjut dengan pasukan Aceh terus menyerang. Kebijakan ini juga memakan banyak anggaran Belanda, sementara moral pasukan yang terkurung dalam benteng turun drastis.

Teungku Chik Di Tiro dan pasukannya terus menjaga semangat perlawanan, bahkan mengirim surat-surat ancaman dan ajakan berperang kepada pasukan Belanda yang terkurung dalam benteng.

Kondisi tersebut membuat mental pasukan Belanda semakin menurun, hingga akhirnya Belanda keluar dari Aceh pada tahun 1942 setelah 69 tahun perang tanpa perolehan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Aceh.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat merujuk pada beberapa buku sejarah seperti “Perang Sabi Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda” oleh Prof. Ali Hasjmy dan “The Dutch Colonial War In Aceh” yang diterbitkan oleh PDIA pada tahun 1990.(*)

Sumber: AcehInfo.id

Artikel Terkait

Transformasi Suriah: Perubahan Pemerintahan dan Bendera Nasional di Tahun 2024
Menyingkap Kisah Minoritas Syiah Sekte Alawi di Suriah: Dari Kejayaan hingga Perjuangan di Tengah Konflik
Menguak 3 Alasan Jepang Menjajah Indonesia: Kepentingan Perang hingga Ekonomi
Daftar 10 Kota dengan UMP Tertinggi di Indonesia pada 2025: Jakarta Tetap di Puncak!
Suriah: Menyingkap Kekayaan Sejarah di Tanah Peradaban Dunia
Tragedi Kematian Meurah Pupok: Pengkhianatan, Konspirasi, dan Penyesalan Sultan Iskandar Muda
Concorde: Ikon Pesawat Supersonik yang Mengubah Sejarah Penerbangan Dunia yang Telah Pensiun
20 Tahun Berlalu Gempa dan Tsunami Dahsyat 26 Desember 2004 di Aceh dan Dunia

           
Konten berikut adalah iklan platform MGID, media kami tidak terkait dengan materi konten tersebut
Konten berikut adalah iklan platform Recreativ, media kami tidak terkait dengan materi konten tersebut

Artikel Terkait

Rabu, 8 Januari 2025 - 17:29 WIB

Transformasi Suriah: Perubahan Pemerintahan dan Bendera Nasional di Tahun 2024

Minggu, 5 Januari 2025 - 22:54 WIB

Menyingkap Kisah Minoritas Syiah Sekte Alawi di Suriah: Dari Kejayaan hingga Perjuangan di Tengah Konflik

Kamis, 2 Januari 2025 - 01:01 WIB

Menguak 3 Alasan Jepang Menjajah Indonesia: Kepentingan Perang hingga Ekonomi

Jumat, 27 Desember 2024 - 18:42 WIB

Daftar 10 Kota dengan UMP Tertinggi di Indonesia pada 2025: Jakarta Tetap di Puncak!

Jumat, 27 Desember 2024 - 16:49 WIB

Suriah: Menyingkap Kekayaan Sejarah di Tanah Peradaban Dunia

Minggu, 22 Desember 2024 - 20:55 WIB

Tragedi Kematian Meurah Pupok: Pengkhianatan, Konspirasi, dan Penyesalan Sultan Iskandar Muda

Sabtu, 21 Desember 2024 - 22:20 WIB

Concorde: Ikon Pesawat Supersonik yang Mengubah Sejarah Penerbangan Dunia yang Telah Pensiun

Sabtu, 21 Desember 2024 - 17:13 WIB

20 Tahun Berlalu Gempa dan Tsunami Dahsyat 26 Desember 2004 di Aceh dan Dunia

Berita Terkini