|
(Foto: wikipedia) |
AchehNetwork.com – Pemahaman tentang “sab’a samaawaat” atau “tujuh langit” dalam agama Islam telah menjadi topik menarik untuk dibahas.
Banyak peminat astronomi mengungkapkan argumentasi mereka tentang makna ini, namun seringkali terdapat pemaksaan fenomena astronomis untuk mencocokkan dengan eksistensi lapisan-lapisan langit.
Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat pemahaman lama yang mencoba menjelaskan lapisan-lapisan langit berdasarkan konsep geosentris.
Konsep ini mengatur Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus dalam tujuh langit yang berbeda. Konsep geosentris ini, yang sering dikaitkan dengan astrologi pada masa itu, juga berperan dalam pembentukan konsep tujuh hari dalam seminggu.
Misalnya, penentuan 1 Januari tahun 1 sebagai hari Sabtu berhubungan dengan Saturnus yang dianggap berpengaruh pada saat itu.
Dalam konsep ini, hari-hari dalam seminggu dipengaruhi oleh benda-benda langit yang berbeda, seperti Bulan, Mars, Merkurius, Jupiter, dan Venus.
Inilah akar dari pembentukan pekan tujuh hari yang kita kenal sekarang.
Selain pengaruh konsep geosentris, pemahaman tentang tujuh langit dalam Islam juga mungkin dipengaruhi oleh kisah mi’raj Rasulullah SAW.
Mi’raj adalah perjalanan Rasulullah dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha, yang dianggap sebagai suatu batas yang tak terlampaui.
Namun, penjelasan tentang Sidratul Muntaha dalam Al-Qur’an dan hadits sangat sedikit.
Dalam kisah mi’raj, Rasulullah mengalami perjalanan melalui tujuh langit yang berbeda, di mana ia bertemu dengan berbagai nabi dan mendapatkan perintah shalat wajib.
Namun, pertanyaan muncul, apakah tujuh langit dalam konteks ini merujuk pada lapisan langit fisik atau pada sesuatu yang lebih ghaib?
Penting untuk diingat bahwa dalam Al-Qur’an, ungkapan “tujuh” atau “tujuh puluh” sering digunakan untuk menggambarkan jumlah yang tak terhingga.
Misalnya, ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan ungkapan seperti “tujuh lautan” atau “tujuh puluh kali” untuk menunjukkan jumlah yang tidak dapat dihitung secara tepat.
Jadi, “tujuh langit” mungkin lebih baik dipahami sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit yang berjenjang.
Dalam kisah mi’raj Rasulullah, peristiwa fisik dan ghaib tercampur aduk.
Beberapa ahli tafsir memandang Sidratul Muntaha sebagai Bintang Syi’ra, yang berarti penafsiran fisik tujuh langit.
Namun, lainnya berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah mi’raj merujuk pada langit ghaib.
Dengan demikian, pemahaman tentang “tujuh langit” dalam Islam adalah topik yang penuh kontroversi dan memiliki berbagai penafsiran.
Hal ini mencerminkan keragaman pandangan dalam dunia Islam terkait dengan makna yang lebih mendalam di balik konsep ini, apakah itu dalam konteks astronomi atau spiritual.(*)