Jam Gadang Bukit Tinggi (pixabay) |
AchehNetwork.com – Jam Gadang, ikon Kota Bukittinggi di Provinsi Sumatera Barat, bukan sekadar menara bersejarah.
Ia adalah saksi bisu bagi perjalanan panjang kota ini dan memiliki kisah yang tak kalah menariknya.
Selain berfungsi sebagai landmark kota, Jam Gadang juga memainkan peran penting sebagai jam publik yang mengukur waktu bagi penduduk setempat, membantu mereka menjalani kehidupan sehari-hari.
Dilansir AchehNetwork.com dari katasumbar.com, dengan jam berukuran besar berdiameter 80 cm di keempat sisinya, tidak mengherankan jika ia disebut “Jam Gadang,” yang dalam bahasa Minangkabau berarti “jam besar.”
Jam Gadang yang mengagumkan ini, kini telah menjadi salah satu destinasi wisata yang sangat populer di Kota Bukittinggi dan Provinsi Sumatera Barat.
Namun, sebelum keindahannya dikenal luas, pembangunan menara ini merupakan sebuah inisiatif yang sangat bersejarah. Antara tahun 1925 hingga 1927, Jam Gadang mulai menghiasi Bukittinggi atas inisiatif Hendrik Roelof Rookmaaker.
Rookmaaker adalah seorang kontrolur atau sekretaris kota Fort de Kock (nama sebelumnya untuk Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Menara jam yang menjulang setinggi 27 meter ini secara resmi diresmikan pada 25 Juli 1927.
Namun, yang membuatnya semakin istimewa adalah bahwa Jam Gadang adalah hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina.
Proyek pembangunan Jam Gadang dipimpin oleh seorang arsitek asal Koto Gadang bernama Yazid Rajo Mangkuto, sementara pelaksana pembangunan adalah Haji Moran, dengan bantuan St. Gigi Ameh.
Bahkan, peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rookmaaker, yang saat itu baru berusia enam tahun.
Membangun Jam Gadang membutuhkan dana yang cukup besar, sekitar 15.000 Gulden, di luar biaya upah para pekerja yang mencapai 6.000 Gulden.
Dana tersebut didapat dari Pasar Fonds, sebuah badan pengelola dan pengumpul pajak dari pasar-pasar di Bukittinggi.
Selama perjalanan sejarahnya, Jam Gadang mengalami tiga kali perubahan bentuk atapnya.
Awalnya, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan yang menghadap ke arah timur.
Kemudian, selama pendudukan Jepang, atapnya diubah menyerupai Kuil Shinto.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1953, atap Jam Gadang kembali diubah menjadi bentuk gonjong, yang mirip dengan atap rumah adat Minangkabau dan Rumah Gadang.
Jam Gadang tidak hanya sebuah penanda waktu, tetapi juga saksi sejarah dan simbol identitas Kota Bukittinggi.
Seiring berjalannya waktu, ia terus mengukir kisah yang menakjubkan dan mempesona bagi warga dan pengunjung kota ini.(*)