Ilustrasi (Net) |
AchehNetwork.com – Pembubaran organisasi masyarakat (Ormas) yang mengancam stabilitas dan kewibawaan sebuah negara bukanlah tugas yang mudah, terutama jika Ormas tersebut memiliki banyak pengikut yang fanatik.
Salah satu contoh yang mencolok dalam sejarah adalah pembubaran Ormas keagamaan yang merongrong Kesultanan Aceh, yang akhirnya menyebabkan kejatuhan Dinasti Bugis yang memerintah Aceh.
Ormas keagamaan yang dimaksud dalam kasus ini bukanlah seperti Ormas keagamaan modern yang kita kenal saat ini.
Ini adalah kelompok individu yang menganut pandangan dan aliran Islam tertentu. Dalam konteks sejarah Aceh, aliran Islam ini dikenal sebagai “Wujudiyah.”
Aliran Wujudiyah telah hadir dan berkembang di Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1602-1636), dan selama beberapa tahun hingga pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641-1675), banyak orang di Aceh mengikuti aliran ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Tsani, aliran ini mulai mengajarkan praktik yang dianggap menyimpang dari ajaran Syariat oleh Mufti Besar Kesultanan Aceh, Nuruddin al-Raniri.
Nuruddin al-Raniri, yang menjabat sebagai Mufti Kesultanan Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) hingga masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin, melakukan analisis terhadap ajaran Wujudiyah dan menyimpulkan bahwa ajaran yang diamalkan oleh pengikut aliran ini telah menyimpang jauh dari ajaran Islam yang benar.
Oleh karena itu, Nuruddin al-Raniri sebagai Mufti Kesultanan memiliki kewenangan untuk memberikan nasihat kepada Sultan Iskandar Tsani.
Sultan berupaya membujuk penganut Wujudiyah yang memegang keyakinan wahdah al-wujud untuk mengubah pandangan mereka dan bertaubat kepada Allah atas kesesatan yang mereka anut, tetapi upaya ini sia-sia.
Setelah kematian Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641, kekuasaan Kesultanan Aceh beralih ke tangan Ratu yang berasal dari Dinasti Bugis, yang dikenal sebagai Daeng Mansur.
Alih-alih mengizinkan kelompok Wujudiyah yang dianggap sesat dan potensial membahayakan negara, Sultanah Safiatuddin memutuskan untuk mengambil tindakan keras.
Selain dianggap menyimpang dari ajaran Islam, kelompok Wujudiyah juga mulai terlibat dalam aktivitas pemberontakan pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin.
Akibatnya, dengan pertimbangan keamanan negara, Sultanah Safiatuddin mengeluarkan perintah keras untuk melarang penyebaran ajaran Wujudiyah di Kesultanan Aceh Darussalam.
Keputusan Sultanah Safiatuddin menghasilkan larangan luas terhadap aliran dan Ormas Wujudiyah di seluruh wilayah Kesultanan Aceh.
Kitab-kitab yang dijadikan referensi oleh aliran ini dibakar, dan pengikut yang masih memegang keyakinan tersebut dipenjarakan atau dihukum berat jika mereka masih terus mempraktikkan ajaran tersebut atau melakukan tindakan yang mengancam kestabilan negara.
Pengikut dan ulama Wujudiyah, yang jumlahnya banyak, menyimpan rasa dendam terhadap Sultanah Safiatuddin, dan mereka terus berupaya untuk menjatuhkan para Sultanah yang berasal dari Dinasti Bugis.
Mereka memanfaatkan isu haramnya pemimpin wanita dalam Islam untuk mempengaruhi masyarakat, tetapi pada saat itu, Nuruddin al-Raniri, yang merupakan Mufti dan dianggap sebagai seorang ulama paling alim di Aceh, mengeluarkan fatwa yang mendukung kepemimpinan perempuan, sehingga ketegangan politik di kalangan masyarakat dapat diredam.
Setelah kematian Nuruddin al-Raniri dan Sultanah Safiatuddin pada tahun 1675, Dinasti Bugis terus memerintah Aceh melalui tiga Sultanah berturut-turut: Sultanah Nurul Alam (1675-1678), Sultanah Zaqiatuddin (1678-1688), dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).
Namun, dendam kelompok Wujudiyah terhadap Dinasti Bugis tidak pernah reda, dan mereka terus memobilisasi isu yang sama untuk mencoba menggulingkan para Sultanah dari Dinasti ini.
Akhirnya, upaya kelompok Wujudiyah berhasil. Mereka mendapatkan dukungan dari sebagian pengikut dan rakyat yang terprovokasi, dan pemberontakan pun meletus di berbagai wilayah Kesultanan Aceh.
Melihat keadaan negara yang semakin kacau, para pemimpin, termasuk Mufti Kesultanan Aceh, memutuskan untuk pergi ke Mekah untuk meminta solusi atas krisis politik yang melanda Aceh.
Dari Mekah, para pemimpin Aceh akhirnya setuju untuk menurunkan Sultanah Kamalat Syah dari tahta, dengan dukungan rekomendasi dan fatwa Mufti Besar Mekah tentang haramnya pemimpin wanita dalam Islam.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan, Syarif Mekah mengutus keturunannya, Syarif Hasyim Jamal al-Din, sebagai Sultan Aceh yang baru.
Sejak saat itu, sejak tahun 1699, Aceh tidak lagi dipimpin oleh Dinasti Bugis.
Ormas sesat yang pernah dibubarkan oleh Sultanah Safiatuddin berhasil membalaskan dendamnya, meskipun itu terjadi 58 tahun setelah pembubaran tersebut.(*)