(Ist) |
Acheh Network – Kalimantan Barat pada akhir tahun 1967 diselimuti oleh tragedi kelam yang dikenal sebagai Peristiwa Mangkuk Merah.
Peristiwa ini merupakan salah satu babak hitam dalam kisah panjang Indonesia, di mana ribuan warga etnis Tionghoa menjadi korban pembunuhan dan pengusiran.
Mengambil tempat di pedalaman Kalimantan Barat, serangan yang dilakukan oleh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) bersama suku Dayak terhadap permukiman warga Tionghoa menorehkan luka yang mendalam dalam sejarah bangsa.
Istilah “Mangkuk Merah” merujuk pada ritual dan adat suku Dayak yang digunakan sebagai alat untuk mengkonsolidasikan dan memobilisasi pasukan lintas subsuku.
Simbolisme yang terkandung di dalam istilah ini merujuk pada dimulainya tindakan perang.
Antara Kekerasan dan Polarisasi Politik
Peristiwa Mangkuk Merah 1967 terjadi sebagai bagian dari upaya penumpasan gerakan sayap kiri komunis setelah meletusnya G30S/PKI.
Sejumlah tokoh Dayak dan ABRI bersatu untuk mengejar para pelaku separatis yang terlibat dalam Gerakan Sayap Kiri Komunis, termasuk warga Tionghoa yang diduga mendukung mereka.
Akibatnya, ribuan nyawa melayang sia-sia, dengan setidaknya 3.000 kematian tercatat di pedalaman dan 4.000-5.000 kematian di kota-kota seperti Pontianak dan Singkawang akibat kelaparan.
Namun, untuk benar-benar memahami latar belakang tragedi ini, kita perlu melihat ke masa sebelumnya.
Selama konfrontasi Indonesia-Malaysia, pemerintah Indonesia melancarkan penolakan terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang didukung oleh Inggris.
Warga Tionghoa di Kalimantan Utara memiliki pandangan yang sama, karena khawatir terjadi dominasi warga Melayu terhadap rakyat Kalimantan Utara, termasuk warga Tionghoa.
Konfrontasi dan Dampaknya pada Warga Tionghoa
Warga Tionghoa di Kalimantan Utara, yang menentang pembentukan Federasi Malaysia, secara tak langsung terlibat dalam konfrontasi ini.
Mereka dipersiapkan untuk mendukung konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris.
Namun, pasca G30S/PKI, pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto mengambil langkah tegas untuk menumpas semua kekuatan politik kiri, termasuk PGRS/Paraku yang didominasi oleh etnis Tionghoa.
Sebagai akibat dari peristiwa ini, banyak warga Tionghoa yang terlibat dalam pasukan PGRS/Paraku menjadi sasaran tindakan penumpasan.
Tragedi Mangkuk Merah 1967 tidak hanya menorehkan luka dalam sejarah Indonesia, tetapi juga memberikan gambaran akan dampak politik, sosial, dan kemanusiaan dari polarisasi dan perubahan kebijakan pemerintah.
Menyimpan Pelajaran Berharga
Peristiwa Mangkuk Merah 1967 adalah pengingat yang pedih akan potensi kekerasan dan dampak negatif dari polarisasi politik.
Ini juga mencerminkan bagaimana sejarah dan nasib etnis Tionghoa di Indonesia dapat terjalin dengan peristiwa-peristiwa penting dalam dinamika politik dan sosial.
Dalam memandang kembali tragedi ini, kita harus belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk menciptakan masyarakat yang inklusif, di mana perbedaan budaya dan etnis dihormati dan diapresiasi.
Dengan memahami dan menghormati sejarah yang rumit ini, kita dapat terus bergerak maju sebagai bangsa yang berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan perdamaian.
Tragedi Mangkuk Merah 1967 harus menjadi pelajaran berharga yang mengingatkan kita untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh warga Indonesia, tanpa memandang latar belakang etnis atau politik.(*)