
|
Monumen Radio Rimba Raya (Dok. Haloindonesia) |
Achehnetwork.com – Perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan pasca-proklamasi bukanlah tugas yang ringan.
Setelah proklamasi pada 17 Agustus 1945, Indonesia harus menghadapi Agresi Militer dari Belanda pada 21 Juni 1947.
Di tengah tantangan ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memilih perang gerilya sebagai strategi utama.
Meskipun demikian, Belanda masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer kembali terjadi.
Belanda dengan licik menyebarkan informasi palsu tentang kehancuran Indonesia ke seluruh dunia.
Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta dihancurkan, memutus akses komunikasi internasional.
Namun, di tengah kegelapan, Radio Rimba Raya di Kabupaten Aceh Tengah menjadi cahaya harapan.
Radio ini dengan gigih tetap mengudara, memastikan bahwa Indonesia masih ada dan merdeka.
Awalnya, siaran radio ini menggabungkan bahasa Indonesia, Inggris, dan Urdu.
Kisah heroik tentang perlawanan Indonesia terhadap klaim Belanda ini terabadikan dalam Tugu Perjuangan Radio Rimba Raya, yang berdiri gagah di Kampung Rimba Raya, Bener Meriah, Aceh.
“Pada tanggal 19 Desember 1948, ketika Belanda merebut Yogyakarta, dan Radio Republik Indonesia yang mengumandangkan kebebasan Indonesia di dunia, pun senyap. Namun, malam tanggal 20 Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara dan memastikan bahwa Republik Indonesia berdasarkan Pancasila masih tegak berdiri, serta api revolusi 1945 masih berkobar.”
Tanggal 19 Desember 1948, Gubernur Militer Aceh bersama Langkat dan Tanah Karo memutuskan di sidang Dewan Pertahanan Daerah bahwa pada tanggal 20 Desember 1948, Radio Rimba Raya akan mengudara.
Tanah Aceh, sebagai salah satu kota modal Republik Indonesia, bersiap untuk membawa pemancar kuat dari luar negeri.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya Radio Rimba Raya menemukan tempat di Ronga-Ronga.
Pada tanggal 20 Desember 1948, siaran mulai mengudara secara teratur.
Tugu Perjuangan Radio Rimba Raya diberdiri untuk mengenang momen bersejarah ini, ketika radio ini menjadi suara pengganti Radio Republik Indonesia yang tenggelam oleh tindakan Belanda.
Radio Rimba Raya selamat dari serangan udara Belanda yang menghantam pemancar-pemancar radio di seluruh Indonesia.
Panglima Divisi X Gajah, Kolonel Hoesin Yoesoef, dengan gigih melindungi antena dan pemancar Radio Rimba Raya di tengah hutan, menjauhkan mereka dari ancaman militer Belanda.
Tidak putus semangat, Sultan Aman Mar mengawal pemindahan pemancar dari Divisi X Gajah ke hutan Burni Bies secara rahasia.
Pemindahan ini penuh drama, dengan rombongan berusaha menghindari pesawat militer Belanda.
Pemancar radio akhirnya berpindah ke Hutan Rimba Raya untuk mengurangi risiko.
Siaran Radio Rimba Raya menggunakan pemancar 1 kilowatt pada frekuensi 19,25 dan 61 meter.
Siarannya menggema dengan tegas menolak klaim Belanda dan mempertahankan keberadaan Indonesia dalam tiga bahasa: Inggris, Urdu, dan Indonesia.
Siaran ini merambat hingga ke Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Australia, bahkan Eropa.
Radio Rimba Raya terus berjuang hingga Pemerintahan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Pada tahun 2008, Radio Rimba Raya kembali beroperasi, menjadi sumber informasi dan hiburan bagi masyarakat Bener Meriah dan sekitarnya, meneruskan warisan perjuangan dan semangat kemerdekaan.(*)
Editor : ADM Acheh Network