Rapa’i (Wadaya) |
Achehnetwork.com – Tak bisa disangkal, Rapa’i telah menjadi nyanyian abadi dalam kebudayaan Aceh. Alat musik pukul yang terlahir dari tanah ini mengandung cerita yang menggetarkan tentang keberanian, keberagaman, dan perjalanan Islam di wilayah ini.
Dipercaya sebagai hasil cipta dari tangan ulama terkemuka, Syekh Ahmad bin Rifa’i, yang juga merupakan pendiri tarikat Rifa’iyyah, Rapa’i bukan sekadar alat musik; ia adalah hembusan semangat yang menerjang ruang dan waktu.
Rapa’i, dengan daya tarik yang tak tertandingi, mewarnai setiap persembahan musiknya tanpa bantuan alat penabuh.
Dengan telapak tangan yang anggun, ritme dan gemerincing Rapa’i menyatu dalam lantunan syair Islami yang mengalun.
Di dalam jantung setiap dengungan, tersembunyi jiwa pemain yang menjadikan dirinya perpanjangan dari alat ini, mengatur tempo dan perasaan dalam harmoni yang megah.
Suara Rapa’i telah mengubah suatu ruang menjadi hidup, menghidupkan suasana dan merangsang semangat mereka yang menikmati pertunjukan.
Keajaiban alat ini tak hanya terbatas pada satu genre; ia menciptakan harmoni dalam hampir semua seni tarik suara tradisional di Aceh.
Sejarah yang teranyar tak mungkin dilepaskan dari pengaruh masuknya Islam di Aceh. Syekh Rifa’i, ulama agung dari Baghdad, membawa angin perubahan ini bersamanya, memperkenalkan Rapa’i dalam perjalanan Islam yang menggema di Aceh.
Dalam riwayat-riwayat bersejarah, Rapa’i, alat musik yang membaur dalam budaya Aceh, datang melalui tangan Syekh Rapi atau juga dikenal sebagai Syekh Rifa’i.
Selama berabad-abad, Rapa’i telah menjadi teman setia dalam upacara dan perayaan di Aceh.
Instrumen ini membangkitkan melodi dengan setiap pukulan yang mengudara.
Dalam semangat pertama kalinya, Rapa’i memenuhi udara di Ibukota Kerajaan Aceh pada abad ke-11, menciptakan getaran magis di Banda Khalifah, yang sekarang dikenal sebagai Gampong Pande di Kota Banda Aceh.
Di tengah tempat ini, sejarah masih hidup dalam peninggalan-peninggalan kerajaan yang menghiasi masa lalu dan terus lestari hingga kini.
Jika alat musik memiliki jiwa, Rapa’i pasti memiliki banyak. Dibuat dari kulit sapi atau kambing yang dipasang pada kayu pilihan yang membentuk bentuk bulat, Rapa’i tak hanya memiliki nilai musik tetapi juga seni dalam keunikan desainnya.
Lembaran logam menjadi perekat antara kulit dan kayu, menciptakan harmoni material dan bunyi.
Rapa’i merangkum berbagai bentuk dan ukuran, masing-masing diberi nama sesuai kreasi dan peruntukannya.
Aceh mengenal enam jenis Rapa’i yang memukau:
1. Rapai Dabôih, menghidupkan ketangkasan dalam pertunjukan, memperlihatkan seseorang yang tak tergoyahkan oleh benda tajam.
Dahulu, daboih (debus) adalah aksi seorang khalifah yang memiliki ilmu kebal, mahir dalam makrifat besi.
2. Rapa’i Geurimpheng, tampil dengan karya duduk.
Dimulai dengan salam, tangan menjulur ke depan, badan bergoyang ke kiri dan kanan, sembari Rapa’i dipukul dan ratoih (lagu) dinyanyikan.
3. Rapai Pulôt, dimulai dengan salam, lalu aksi akrobatik dan kemampuan membentuk lingkaran bersambung menjadi pusat perhatian.
4. Rapai Pase, hadir di Aceh Utara dengan tim pemukul beranggotakan 30 orang.
5. Rapai Anak, versi lebih kecil yang menggema dalam upacara adat, menawarkan nada lebih tajam dan jelas.
6. Rapai Kisah/Hajat, menyampaikan narasi atau keinginan, menceritakan perjalanan seperti keinginan memiliki rumah sendiri.
Dalam unisono, sang syech (koordinator pemukul Rapa’i) dan pemain Rapa’i menyanyikan syair mengenai harapan tersebut.
Sejarah dan kreativitas, perjalanan panjang dan getaran indah, Rapa’i adalah harta tak ternilai yang membawa jiwa Aceh dalam setiap dentingan.
Dari masa lalu hingga masa depan, ia akan terus mengukir cerita-cerita baru yang menggugah, mengingatkan kita akan kekayaan budaya dan kekuatan musik yang tak pernah pudar.(*)
Dapatkan update berita dan artikel menarik lainnya dari Acheh Network di Google News