Lukisan Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah (Foto: wikipedia) |
Pada periode kekuasaannya dari tahun 1675 hingga 1678 Masehi, dia menggantikan Ratu Safiatuddin, sultanah pertama Kerajaan Aceh.
Meskipun masa pemerintahannya terbilang singkat, namun jejaknya dalam meneruskan kepemimpinan perempuan di tahta kerajaan sungguh tak terlupakan.
Kisahnya yang menarik ini diungkapkan oleh para sejarawan Aceh seperti Gade Ismail dan Rusdi Sufi dalam buku “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah”.
Menurut manuskrip silsilah keturunan sultan-sultan Aceh yang tersimpan di Universitas Kebangsaan Malaysia, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah adalah putri dari Malik Radiat Syaikh Hitam, yang merupakan putra Firman Ali Riayat Syah, yang pada gilirannya adalah putra Said Al Mukammil.
Selama pemerintahannya, Ratu Naqiatuddin bekerja sama dengan Syaikh Abdur Rauf, yang juga dikenal sebagai Tgk Syiah Kuala, seorang ulama besar Aceh pada masa itu.
Syaikh Abdur Rauf menjabat sebagai Mufti sejak masa pemerintahan Ratu Safiatuddin.
Dia memberikan masukan berharga kepada Ratu Naqiatuddin untuk melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan Kerajaan Aceh.
Perubahan tersebut kemudian dicatat dalam bentuk undang-undang dasar Kerajaan Aceh yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam.
Undang-undang Adat Meukuta Alam ini memiliki arti yang sangat penting bagi Kerajaan Aceh.
Membagi kerajaan menjadi tiga federasi yang dikenal dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe (Aceh tiga sagi).
Masing-masing sagi terdiri dari beberapa mukim, dan berdasarkan jumlah mukim yang disatukan, ketiga sagi tersebut dinamai: Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim.
Setiap sagi memiliki seorang pemimpin yang disebut Panglima Sagoe.
Tindakan Ratu Naqiatuddin dalam membentuk federasi Aceh Lhee Sagoe merupakan langkah maju untuk menciptakan pemerintahan yang lebih terpusat dan efisien.
Dengan memberikan otonomi kepada ketiga wilayah di sebelah barat, timur, dan selatan Kerajaan Aceh, dia mengurangi beban kerajaan dan meningkatkan efektivitas pengawasan.
Para Panglima Sagoe berperan sebagai perpanjangan tangan raja yang memantau pelaksanaan pemerintahan di wilayah masing-masing, sehingga menjaga kesatuan dan stabilitas kerajaan.
Karya dan prestasi Ratu Naqiatuddin Syah tidak berhenti di situ saja.
Dia juga menciptakan mata uang emas dengan bentuk dan tulisan Arab yang menampilkan nama dan gelarnya, yaitu “Sri Paduka Sultanah Nurul Alam”, serta akasara Arab “Naqiat ad-Din Syah Berdaulat”.
Mata uang emas ini memiliki mutu yang tinggi, terbuat dari emas 17 karat dengan berat 0,59 gram. Hal ini menunjukkan keseriusannya dalam memperkuat ekonomi Kerajaan Aceh.
Namun, masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah juga diwarnai oleh sebuah petaka.
Kebakaran yang melanda Mesjid Raya Baiturrahman dan istana kerajaan yang penuh dengan perhiasan dan barang berharga merupakan cobaan besar bagi kerajaan.
Meskipun pemerintahannya berlangsung hanya selama tiga tahun, Ratu Naqiatuddin mampu mencatatkan banyak kemajuan yang signifikan dalam tata kelola pemerintahan Kerajaan Aceh, dibandingkan dengan masa pemerintahan ratu sebelumnya, Ratu Safiatuddin Syah yang memerintah selama 35 tahun.
Ratu Naqiatuddin Syah mengembuskan napas
Lanjut Halaman 2..
Halaman : 1 2 Selanjutnya