ACHEHNETWORK.COM – Polemik peralihan status administratif empat pulau dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara kembali memicu sorotan tajam, terutama dari kalangan tokoh dan pejabat daerah Aceh. Persoalan ini mencuat usai terbitnya keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar sebagai bagian dari Sumut. Namun, langkah tersebut mendapat penolakan tegas dari banyak pihak di Aceh, termasuk anggota DPD RI asal Aceh, Azhari Cage, serta pakar otonomi daerah Jo Hermansa Johan.
Menurut Azhari Cage, keputusan itu dianggap sebagai bentuk kesalahan serius dari pemerintah pusat karena tidak mempertimbangkan aspek historis, administratif, serta kesepakatan yang telah dibangun selama ini. Ia menegaskan bahwa empat pulau tersebut sejak lama secara administratif dan historis tercatat sebagai bagian dari Aceh. Hal ini dibuktikan lewat sejumlah dokumen resmi, seperti keputusan Kepala Inspeksi Agraria Aceh tahun 1965, peta topografi TNI AD tahun 1978, serta sejumlah kesepakatan antara pemerintah Aceh dan Sumatera Utara yang secara eksplisit hanya membahas batas darat, bukan batas laut.
Azhari menyampaikan kekhawatirannya bahwa keputusan tersebut berpotensi merusak suasana damai yang selama ini telah terbangun di Aceh. Ia menyinggung kesepakatan damai Helsinki yang memberi ruang kepada Aceh untuk mengelola kekhususan wilayahnya tanpa harus merdeka. Menurutnya, jika pemerintah pusat terus mengambil langkah sepihak tanpa komunikasi yang sehat dengan pemerintah Aceh, maka wajar jika masyarakat merasa terzalimi. Ia pun meminta agar SK yang dikeluarkan oleh Mendagri segera dicabut demi mencegah konflik berkepanjangan.
Dalam diskusi yang sama, Jo Hermansa Johan juga mengkritik pendekatan teknokratis yang digunakan dalam penetapan batas wilayah. Ia menilai bahwa metode penarikan garis batas secara koordinat tidak bisa menjadi dasar tunggal dalam menentukan kepemilikan administratif suatu wilayah kepulauan. Menurutnya, penamaan pulau atau toponimi yang dijadikan salah satu alasan keputusan pun tidak cukup kuat. Faktanya, nama-nama pulau tersebut sudah lama dikenal dalam bahasa lokal Aceh dan juga oleh masyarakat dari etnis lain yang bermukim di kawasan itu.
Jo menekankan bahwa dalam konteks Aceh, kebijakan apapun harus mempertimbangkan kondisi politik dan perdamaian yang rapuh. Keputusan birokratis tanpa memperhatikan dimensi sosial-politik hanya akan memperkeruh suasana dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah pusat. Ia juga mengingatkan bahwa sejarah mencatat Aceh telah mengelola pulau-pulau tersebut jauh sebelum adanya pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Aceh Singkil. Infrastruktur seperti pelabuhan, musala, hingga fasilitas publik lainnya telah dibangun oleh pemerintah daerah Aceh di pulau-pulau itu.
Lebih lanjut, Jo menyampaikan bahwa penarikan batas darat yang menjadi dasar keputusan Mendagri sebenarnya belum disertai kesepakatan terkait batas laut. Oleh karena itu, tidak tepat jika kemudian pulau-pulau tersebut langsung dialihkan ke Sumut hanya karena ditarik dari garis pantai. Ia bahkan mencontohkan kasus Hawaii yang letaknya terpisah jauh dari daratan Amerika Serikat, namun tetap menjadi bagian sah dari negara tersebut karena faktor historis dan pengakuan administratif.
Kedua narasumber sepakat bahwa keputusan ini tidak hanya cacat secara prosedur, tetapi juga berpotensi mencederai proses perdamaian Aceh yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Mereka berharap Presiden Prabowo Subianto dapat mengambil langkah cepat dan tegas untuk mengevaluasi, bahkan membatalkan keputusan tersebut agar kegaduhan tidak terus meluas. Jika dibiarkan, isu ini dikhawatirkan akan menjadi bara dalam sekam yang dapat merusak stabilitas keamanan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah pusat.
Editor : ADM