ACHEHNETWORK.COM – T. Ridwan (64), seorang warga Ie Masen Kaye Adang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, tengah menghadapi konflik kepemilikan lahan dengan PT Mifa yang diduga mengambil alih tanah miliknya tanpa kompensasi yang memadai. Untuk menempuh jalur hukum, Ridwan memberikan kuasa kepada Kantor Hukum Commanders Law (CMD) di Banda Aceh guna menangani kasus ini.
Dalam pernyataannya pada Minggu (13/10/2024), Ridwan dan tim kuasa hukumnya menyatakan bahwa langkah hukum ini diambil demi mencari keadilan atas hak kepemilikan tanahnya yang kini dikuasai oleh perusahaan tambang tersebut.
Tim hukum yang ditunjuk Ridwan terdiri dari empat advokat berpengalaman, yaitu Muzakir AR, SH, Salman, SH, Rini Santia, SH, dan Nasruddin, SH. Melalui keterlibatan para pengacara ini, Ridwan berharap hak-haknya dapat diperjuangkan secara maksimal melalui jalur hukum yang berlaku.
“Kami berharap PT Mifa memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi yang sesuai atas tanah yang mereka kuasai,” ungkap Ridwan, menekankan bahwa pengambilalihan tanah harus disertai kompensasi yang adil, sesuai dengan prinsip keadilan dan hak kepemilikan.
Tanah yang menjadi objek sengketa terletak di Desa Sumber Batu, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat.
Ridwan memperoleh tanah ini pada tahun 1989, saat konflik Aceh memaksa banyak transmigran asal Jawa di Aceh Barat untuk menjual harta benda mereka, termasuk tanah. Ridwan membeli tanah tersebut, yang kini terdaftar dengan Sertifikat Nomor 298 dan 313.
Muzakir AR, salah satu anggota tim kuasa hukum, menjelaskan bahwa kliennya sebenarnya tidak keberatan tanahnya digunakan oleh PT Mifa.
Namun, ia menuntut agar perusahaan tersebut memberikan ganti rugi yang layak sesuai hukum.
Muzakir menegaskan bahwa hak-hak Ridwan dilindungi oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 27 hingga Pasal 34, yang menjamin hak warga negara atas harta benda mereka.
Menurut Muzakir, tindakan pengambilalihan lahan tanpa kompensasi yang layak adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi.
“Ini bukan hanya soal hak individu, tetapi juga soal penghormatan terhadap prinsip-prinsip dasar negara,” tegas Muzakir.
Ia juga menyoroti bahwa pengabaian terhadap keadilan sosial dalam kasus-kasus seperti ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara dan berpotensi memicu ketegangan sosial.
“Oleh karena itu, setiap tindakan pengambilalihan tanah harus dilakukan dengan menghormati hukum dan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat terdampak,” pungkasnya.
Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan, terutama ketika melibatkan hak-hak kepemilikan tanah yang dilindungi konstitusi, serta perlunya kepastian hukum dalam setiap proses pengambilalihan tanah oleh perusahaan besar.***
Editor : Zahra Khairina
Sumber : Jurnal Aceh