Gambar ilustrasi lahan/Foto: pixabay |
AchehNetwork.com – Pemerintah Aceh bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengambil langkah penting dengan menyediakan lahan untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Inisiatif ini bertujuan untuk mendukung transisi para mantan kombatan ke kehidupan sipil, meningkatkan kesejahteraan mereka beserta keluarganya, serta memperkuat proses perdamaian di Aceh.
Langkah ini juga merupakan bagian dari komitmen penting dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dilansir AN Creator dari Bithe.co, Ketua Yayasan Konservasi Alam Aceh Timur (YAKATA), Zamzami Ali, memberikan pandangannya terkait rencana ini.
Menurutnya, langkah tersebut perlu diiringi dengan kehati-hatian agar tidak mengulangi kegagalan program terdahulu.
Banyak lahan yang telah disediakan di Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Jaya, dan Aceh Tamiang namun dialihfungsikan ke pihak lain karena kurangnya pelatihan, modal, dan kondisi lahan yang tidak layak bagi para mantan kombatan.
Zamzami Ali menekankan bahwa rencana pelepasan kawasan hutan di Aceh Timur, yang meliputi wilayah Peunaron, Ranto Peureulak, Banda Alam, dan Pante Bidari seluas 22.000 hektar, memerlukan perhatian khusus.
Wilayah ini merupakan habitat ratusan ekor gajah liar yang menjadi sumber konflik berkepanjangan, bahkan mungkin lokasi konflik satwa paling tinggi di Indonesia.
Menurutnya, membangun kebun untuk mantan kombatan di area ini hanya akan meningkatkan konflik satwa.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa banyak lahan di luar kawasan hutan pun mengalami kerusakan akibat serangan gajah, termasuk lahan milik perusahaan perkebunan seperti PT Atakana Company, PT Dwi Kencana Semesta, PT Indo Alam, PT Bumi Flora, PT Aloer Timur, PT Putri Hijau, dan lainnya.
Diperkirakan lahan yang rusak mencapai lebih dari 20.000 hektar, hampir sama dengan lahan yang diajukan untuk mantan kombatan.
Contoh lainnya adalah pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Sumedang Jaya di Ranto Peureulak, Aceh Timur, yang mencakup 189 unit rumah di lahan seluas 500 ha.
Proyek ini diresmikan pada 2016 namun kini kondisinya sangat memprihatinkan dengan akses rusak parah dan konflik gajah yang tinggi sehingga masyarakat meninggalkan lokasi tersebut.
Zamzami Ali mengingatkan agar kesalahan serupa tidak diulangi dalam rencana penyediaan lahan baru.
Menurutnya, menempatkan mantan kombatan di lahan yang tidak layak hanya akan menambah masalah.
Ia menyarankan pemerintah untuk mencari lahan yang lebih sesuai, seperti HGU yang izinnya telah berakhir atau HGU terlantar di Aceh Timur dan daerah lain di Aceh yang dapat dimanfaatkan tanpa merusak hutan.
“Jika pun harus melepaskan kawasan hutan, seharusnya dipilih lokasi-lokasi yang memiliki risiko rendah,” tegas Zamzami Ali.
“Pemerintah harus menunjukkan niat baik dengan mencari solusi yang benar-benar membantu para mantan kombatan menjalani kehidupan yang lebih baik.”
Melalui pendekatan yang tepat dan perencanaan yang matang, diharapkan langkah ini dapat memberikan manfaat nyata bagi para mantan kombatan dan mendukung upaya perdamaian di Aceh secara berkelanjutan.***
Sumber: Bithe.co