9 Warisan Budaya dari Aceh Resmi Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional, dari Pok Teumpeuen Aceh Besar Hingga Teganing Gayo Aceh Tengah |
AchehNetwork.com – Kabar menggembirakan datang dari dunia budaya Aceh.
Sebanyak sembilan warisan budaya asal Aceh resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Nasional pada sidang yang berlangsung di Hotel Holiday, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Proses penetapan ini berlangsung selama lima hari, mulai dari 19 hingga 23 Agustus 2024.
Kegiatan ini melibatkan perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia dan berhasil menetapkan sekitar 256 karya budaya sebagai WBTb Nasional.
Dari Aceh, sembilan karya budaya yang masuk dalam daftar WBTb tahun ini berasal dari berbagai daerah di provinsi tersebut.
Sembilan Warisan Budaya dari Aceh yang Ditetapkan sebagai WBTb:
- Pok Teumpeuen (Kabupaten Aceh Besar)
- Seumapa (Provinsi Aceh)
- Bahasa Aceh (Provinsi Aceh)
- Bahasa Gayo (Provinsi Aceh)
- Do Da Idi (Provinsi Aceh)
- Timphan (Provinsi Aceh)
- Malam Boh Gaca (Kabupaten Aceh Barat)
- Pepongoten (Kabupaten Aceh Tengah)
- Teganing (Kabupaten Aceh Tengah)
Menurut Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Budaya Aceh, Evi Mayasari, penetapan ini merupakan langkah penting dalam melindungi warisan budaya daerah agar diakui secara nasional.
Ia menekankan bahwa syarat utama untuk ditetapkan sebagai WBTb adalah warisan tersebut harus berusia minimal 50 tahun atau sudah melalui dua generasi, serta memiliki makna penting bagi masyarakat.
“Penetapan ini sangat penting, karena dengan adanya pengakuan nasional, kita bisa melindungi warisan budaya kita dari klaim pihak lain, seperti kasus batik dulu. Semua warisan budaya takbenda di Indonesia diinventarisasi dari setiap provinsi sebelum ditetapkan,” jelas Evi pada Selasa (27/8/2024).
Sebelumnya, Pemerintah Aceh mengusulkan 24 warisan budaya, namun setelah melalui proses seleksi, hanya sembilan yang akhirnya ditetapkan.
Langkah Strategis Melestarikan Budaya
Evi juga menegaskan pentingnya menjaga warisan budaya ini agar tetap lestari dan tidak punah atau diklaim oleh negara lain.
Langkah-langkah strategis perlu diambil, seperti yang pernah dilakukan untuk melestarikan kopiah meukeutop.
Untuk Timphan, misalnya, Evi berharap agar keaslian makanan tradisional ini tetap terjaga meski ada banyak kreasi baru.
“Kita harus menjaga keaslian dari setiap warisan budaya, seperti Timphan, walaupun banyak kreasinya, yang asli tetap harus dilestarikan,” tutupnya.
Dengan penetapan ini, diharapkan warisan budaya Aceh dapat terus dijaga dan dikenalkan lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.***