Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna |
AchehNetwork.com – Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, mengungkapkan bahwa jumlah kasus kekerasan seksual di Aceh sebenarnya lebih tinggi dari yang terlihat.
“Kami percaya, korban sesungguhnya jauh lebih banyak,” ujar Azharul Husna dalam siaran pers KontraS Aceh pada Senin (15/7).
Data yang Mencengangkan
Azharul Husna menyatakan bahwa fenomena ini menyerupai gunung es di daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah.
Pernyataan ini muncul setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data tahun 2022 yang menunjukkan tingginya kasus kekerasan seksual di Aceh pada tahun 2023.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) juga mendukung temuan ini, mencatat 575 kasus pelecehan dan kekerasan seksual per Juni 2023.
Kelemahan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Azharul Husna menyoroti kelemahan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Aceh sebagai salah satu penyebab tingginya angka tersebut.
Penerapan syariat Islam yang hanya melalui hukuman cambuk dinilai mengabaikan esensi penting pemulihan dan dukungan berbasis komunitas.
“Pelaku sering kali berasal dari lingkungan terdekat, bahkan dari lingkungan pendidikan keagamaan,” ujarnya.
Ketiadaan Aturan yang Tepat
Penggunaan relasi kuasa menjadi motif yang sering muncul dalam kasus kekerasan seksual.
Ketiadaan aturan yang tepat dalam penanganan korban di Aceh juga dianggap sebagai katalisator meningkatnya angka kekerasan seksual.
Upaya revisi Qanun Jinayat yang gagal serta keengganan untuk menggunakan aturan yang lebih tinggi seperti UU No 12/2022 (UU PKS) dan UU No 35/2014 (UU PA) turut menambah derita korban.
Desakan KontraS Aceh
Azharul Husna mendesak pemerintah untuk segera melanjutkan upaya revisi Qanun Jinayat agar lebih selaras dengan UU No. 12/2022 (UU PKS) dan UU No. 35/2014 (UU PA) yang memberikan perlindungan lebih komprehensif bagi korban.
“Selain itu, sangat penting untuk membangun sistem penanganan kekerasan seksual yang berfokus pada pemulihan korban, termasuk penyediaan layanan konseling dan dukungan psikososial,” kata Husna.
Penguatan Aparat dan Masyarakat
KontraS Aceh juga mendesak penguatan aparat penegak hukum dan masyarakat dalam hal pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual.
“Pastikan adanya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan dan keagamaan,” pungkas Azharul Husna.***