Gambar Rumah Adat Gayo dan Tarian Suku Gayo (Foto: Kompas.com) |
AchehNetwork.com – Suku Gayo adalah salah satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah.
Berdasarkan sensus 2010, jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa.
Wilayah tradisional suku Gayo meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan beberapa sebarannya di Kabupaten Aceh Tenggara.
Bahasa Gayo: Warisan Bahasa yang Unik
Bahasa Gayo adalah bahasa sehari-hari masyarakat Gayo, termasuk dalam kelompok bahasa “Northwest Sumatra-Barrier Islands” dari rumpun bahasa Austronesia.
Pengaruh bahasa dari luar, seperti bahasa Aceh dan Melayu, menciptakan variasi dialek yang unik di berbagai daerah.
Dialek-dialek ini mencakup Gayo Lut, Gayo Lues, Gayo-Alas, Gayo Serbejadi, dan Gayo Kalul.
Dalam bahasa Gayo, penggunaan panggilan berbeda menunjukkan tata krama dan rasa hormat, seperti penggunaan “ko” dan “kam” yang keduanya berarti “kamu” (Anda).
Bahasa Gayo Lut dianggap lebih sopan dan halus dibandingkan dialek Gayo lainnya.
Marga dan Garis Keturunan
Meskipun sebagian besar masyarakat Gayo tidak mencantumkan nama marganya, beberapa masih menabalkan nama marga, terutama di wilayah Bebesen.
Berikut adalah daftar beberapa marga utama suku Gayo:
- Marga Uken: Bukit, Jongok, Gunung, Kala
- Marga Toa: Ariga, Cibero, Melala, Munte, Tebe
- Marga Lain: Alga, Linge, Gading, Uning, Reje Guru, Lot
Wilayah Bebesen memiliki lima marga utama yaitu Linge, Munte, Cebero, Tene, dan Melala, yang merupakan keturunan Batak.
Sejarah dan Kerajaan Linge
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak.
Raja Linge I mempunyai empat anak yang berperan penting dalam sejarah Gayo: Empu Beru, Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah), dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga merantau ke Tanah Karo dan mendirikan negeri di sana, dikenal sebagai Raja Lingga Sibayak.
Meurah Johan mendirikan Kerajaan Lamuri di Aceh Besar, sedangkan Meurah Lingga tetap di Gayo dan menjadi raja Linge turun-temurun.
Kehidupan Sosial dan Kekerabatan
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong, yang dikepalai oleh seorang gecik.
Beberapa kampong bergabung menjadi kemukiman, dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional terdiri dari unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat: reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).
Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Seni Budaya yang Kaya dan Beragam
Seni dan budaya Gayo tidak pernah lesu, malah cenderung berkembang. Kesenian yang terkenal antara lain tari saman dan seni bertutur Didong.
Bentuk-bentuk kesenian ini tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga memiliki fungsi ritual, pendidikan, dan penerangan.
Seni dan Tarian Gayo
Beberapa seni dan tarian Gayo meliputi:
- Didong
- Tari Saman
- Tari Bines
- Tari Guel
- Tari Munalu
- Tari Sining
- Tari Resam Berume
Makanan Khas Gayo
Gayo juga memiliki beragam makanan khas yang lezat, seperti:
- Masam Jaeng
- Pulut Bekuah
- Cecah Agur
- Cecah Terong
- Apam
- Pengat
- Gegaloh
- Lepat Petukel
- Gutel
Suku Gayo dengan keanekaragaman budaya, bahasa, dan sejarahnya yang kaya, terus menjadi salah satu suku yang mempertahankan warisan leluhur mereka dengan bangga di Tanah Rencong.***