Ragam
Tradisi Pèh Tambo, Warisan Budaya Aceh yang Terancam Punah
AchehNetwork.com - Tambo, dalam bahasa Indonesia juga disebut beduk, adalah jenis gendang besar yang ditempatkan di masjid dan meunasah (tempat ibadah di Aceh) dan dipukul pada waktu-waktu tertentu untuk mengingatkan masyarakat bahwa waktu shalat telah tiba.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia terbitan "Kartika" Surabaya tahun 1997, tambo juga berarti babad, hikayat, atau uraian sejarah suatu daerah yang sering kali bercampur dengan dongeng dan mitos, seperti tambo Minangkabau yang menceritakan sejarah Minangkabau.
Menurut Atjehsch Nederlandsch Woordenboek deel II, tambo adalah sejenis drum besar yang dibuat dari batang pohon yang dilubangi dan satu sisinya ditutup dengan kulit sapi yang dikencangkan.
Ketika dipukul, kulit sapi ini menghasilkan suara nyaring.
Tambo adalah bagian penting dari seni dan budaya masyarakat Aceh.
Pada masa lalu, tambo digunakan sebagai alat komunikasi tradisional untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat setempat.
Misalnya, tambo dibunyikan untuk mengumumkan waktu shalat, mengumpulkan warga untuk rapat di meunasah, atau memberitahukan adanya kematian di kampung.
Setiap desa di Aceh, yang disebut gampong, memiliki meunasah sebagai tempat musyawarah dan ibadah bersama.
Gabungan beberapa gampong disebut mukim, dan setiap mukim memiliki sebuah masjid sebagai pusat ibadah, terutama pada hari Jumat.
Di masa lalu, tambo ditempatkan di setiap meunasah dan masjid untuk menginformasikan waktu shalat dan kegiatan penting lainnya.
Tambo juga berfungsi untuk membangunkan warga pada bulan puasa, mengingatkan waktu berbuka puasa, dan membangunkan ibu-ibu untuk menyiapkan sahur.
Setiap wilayah di Aceh memiliki aturan dan kesepakatan mengenai bunyi tambo, termasuk durasi dan frekuensi pemukulan, sesuai dengan maksud informasinya.
Ada beberapa jenis tambo, seperti tambo raja (tambo milik sultan atau raja yang ditempatkan di istana), tambo mesjid (tambo di masjid), dan tambo meunasah (tambo di meunasah).
Tambo dibuat dari berbagai jenis pohon, seperti bak teue dan bak iboh, dan ditutup dengan kulit sapi muda untuk menghasilkan suara nyaring.
Untuk memukul tambo, digunakan tongkat kayu khusus yang ringan dan kuat.
Ukuran tambo bervariasi tergantung besar kecilnya batang kayu yang digunakan.
Di beberapa meunasah di Aceh Besar, bahkan ada yang menggunakan drum sebagai tambo.
Selain tambo kayu, ada juga tambo tembaga dan tambo mainan yang disebut tambo meuneuen.
Pemukulan tambo dilakukan dengan menggunakan dua tongkat pendek, satu dipegang di tangan kanan dan satu lagi di tangan kiri.
Tongkat ini biasanya terbuat dari kayu khusus seperti bak puenteut yang ringan dan kuat.
Setiap daerah di Aceh memiliki cara dan aturan berbeda dalam pemukulan tambo.
Misalnya, di Aceh Besar, tambo dibunyikan dua kali untuk rapat dan sekali untuk gotong royong. Di bulan puasa, tambo dipukul tiga kali untuk sahur.
Di Pidie, cara pemukulan tambo untuk orang meninggal dibedakan antara dewasa dan anak-anak.
Di Aceh Timur, tambo dibunyikan untuk rapat dan gotong royong hanya satu kali selama setengah menit.
Pada hari raya, tambo dibunyikan mulai setelah shalat Isya sampai pagi hari, dan terus dipukul sampai sore hari selama tiga hari berturut-turut oleh para remaja dan anak-anak.
Saat ini, penggunaan tambo di Aceh semakin jarang, berbeda dengan di Jakarta (Betawi) di mana beduk masih marak digunakan.
Masyarakat Aceh seharusnya bangga dan termotivasi oleh masyarakat Betawi yang mempertahankan penggunaan tambo meskipun tinggal di kota metropolitan.
Modernisasi telah menggantikan fungsi tambo dengan teknologi canggih, tetapi upaya untuk melacak dan menghidupkan kembali tradisi ini perlu diapresiasi, terutama untuk menarik wisatawan seperti yang dilakukan di Jakarta.
Keunikan budaya peh tambo ini seharusnya dilestarikan agar tidak punah ditelan zaman.
Pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, perlu memberikan perhatian khusus untuk melestarikan dan mempromosikan seni budaya ini sebagai warisan budaya Aceh.***