|
Lorong Buangkok/Foto: Google Maps |
AchehNetwork.com – Di tengah kemegahan modern Singapura, keberadaan Lorong Buangkok, sebuah kampung tradisional yang dihuni oleh 25 keluarga, menawarkan kilasan unik ke masa lalu.
Kampung ini, satu-satunya yang tersisa di negara kota ini, masih mempertahankan keaslian dan kehangatan desa tradisional.
Kisah kampung ini dimulai dari kepemilikan tanah oleh Sng Teow Koon pada tahun 1956.
Tanah seluas 12.248 meter persegi ini kini memiliki nilai fantastis, mencapai 70 juta dolar Singapura atau setara dengan 52 juta dolar AS, atau bahkan sekitar Rp747 miliar.
Generasi berikutnya, putri Sng, Mui Hong, mewarisi kampung ini, yang kini dikelilingi oleh gedung apartemen tinggi dan rumah mewah modern.
Ketika pertama kali melihat kampung ini, kesan pertama yang muncul adalah suasana kampung dari abad pertengahan, dengan rumah-rumah kayu beratap seng.
Namun, di balik penampilan klasik ini, penduduknya tetap mengikuti perkembangan zaman dengan menggunakan teknologi terkini seperti mobil mewah, WiFi berkecepatan tinggi, dan smart TV.
Mereka adalah bukti hidup bahwa modernitas dapat bersanding dengan tradisi.
Salah satu ciri khas kampung ini adalah rumah Attap, rumah tradisional Melayu dengan atap jerami dari daun attap dan seng.
Selain estetika, rumah-rumah ini memberikan kesejukan alami meskipun cuaca tropis yang panas, hal ini diungkapkan oleh profesor dari Universitas Putra Malaysia.
|
Foto: Google Maps |
Meski hidup dalam rumah-rumah tradisional, penduduk kampung menjalani kehidupan sehari-hari yang tidak jauh berbeda dengan warga Singapura pada umumnya, dengan sebagian dari mereka bekerja di kantor pusat kota dan membeli kebutuhan sehari-hari dari supermarket lokal.
Namun, keberadaan kampung ini tidak luput dari tantangan.
Penduduknya telah membangun pagar untuk melindungi diri dari penyusup, terutama setelah adanya laporan mengenai kenaikan nilai tanah pada tahun 2007 yang menarik minat orang luar, termasuk agen properti dan jurnalis.
Tradisi gotong royong, yang dulu begitu kuat, kini sedikit terkikis karena masuknya orang asing tanpa izin ke kampung.
Meskipun begitu, semangat untuk menjaga keutuhan kampung tetap menyala di hati penduduknya.
Meskipun harga sewa rumah-rumah attap ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan apartemen modern di Singapura, pemiliknya, Sng, tetap mempertahankan harga sewa yang sama seperti yang ditetapkan oleh ayahnya pada tahun 1950-an dan 1960-an.
Ini mencerminkan komitmen mereka untuk memelihara warisan kampung dan menjaga harga sewa tetap terjangkau bagi penduduknya.
Kampung ini juga menjadi tempat syuting untuk beberapa produksi film dan drama lokal.
Meski sederhana dalam fasilitasnya, rumah-rumah ini menyimpan banyak nilai historis dan budaya yang menjadi daya tarik tersendiri.
Selain sebagai tempat tinggal, kampung ini juga memiliki nilai religius bagi sebagian penduduknya.
Surau yang dibangun pada tahun 1960-an menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi penduduk Muslim di kampung serta di sekitarnya.
|
Foto: Google Maps |
Walaupun pemerintah berencana untuk membangun kembali kampung ini, beberapa kelompok telah mengampanyekan pelestariannya.
Dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti, penduduk kampung tetap teguh mempertahankan kediaman mereka dan berharap untuk tetap berada di sana dalam waktu yang akan datang.
Bagi mereka, kampung bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah rumah yang memiliki makna dan kenangan yang tak ternilai.
Ketika ditanya mengenai masa depan kampung, Sng dengan tegas menyatakan bahwa dia akan terus mempertahankan tempat yang dia sebut rumah.
Keyakinannya pada menjaga kampung ini adalah simbol dari kesetiaan pada warisan dan identitas mereka sendiri, yang tak ternilai harganya.(*)