|
Pulau Cocos/Foto: Media Storehouse |
AchehNetwork.com – Terjulur di tengah samudera yang tak berujung, Pulau Cocos merupakan perhiasan tersembunyi milik Australia yang dipenuhi dengan warisan kaya dari keturunan Indonesia.
Di balik panorama lautan yang memukau, pulau ini mengisahkan cerita panjang perjalanan hidup yang telah menghiasi kesunyian samudera, menjadikannya bukan sekadar tempat terpencil, melainkan ladang yang subur bagi nilai-nilai budaya yang luhur.
Pulau Cocos, walau kecil, bukan sekadar titik di peta Australia.
Selama berabad-abad, ia menjadi saksi bisu denyut kehidupan yang mengalir di antara kesunyian samudera.
Di sini, sekelompok orang dengan akar Indonesia menjalani kehidupan yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, merajut jalinan kesejahteraan di atas tanah yang jauh dari tanah leluhur mereka.
Meskipun geografisnya lebih dekat dengan Indonesia, Pulau Cocos (Keeling) secara politis tunduk pada Australia.
Di tengah laut lepas Samudera Hindia, terhampar daratan kecil ini sebagai bagian dari wilayah eksternal Australia, terdiri dari 2 atol dan 27 kepulauan koral.
Namun, dari ragam kepulauan itu, hanya dua yang ditempati oleh manusia, sementara sisanya menjadi destinasi yang dicari para wisatawan yang haus akan keindahan alam.
Di antara keberagaman pulau-pulau itu, dua di antaranya menonjol: West Island dan Home Island. Home Island menjadi tempat berdirinya Bantam Village, desa terbesar di Pulau Cocos.
|
Papan Selamat Datang Di Home Island, Kepulauan Cocos/Net |
Penduduk mayoritasnya adalah keturunan campuran Jawa-Melayu, yang setia menggunakan bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, West Island dikenal sebagai tempat tinggal bagi penduduk Barat yang berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Pulau Cocos (Keeling) menggenggam sejarah panjang sejak ditemukan pada tahun 1609 oleh Kapten William Keeling dari Inggris.
Nama pulau ini terinspirasi dari keberlimpahan kelapa yang tumbuh subur di sana, sedangkan “Keeling” diambil dari nama penemunya.
Dahulu, pulau ini menjadi pusat perkebunan kelapa, dengan kopra dan minyak kelapa sebagai tulang punggung ekonominya.
Pekerja dari Pulau Jawa, Indonesia, berperan besar dalam membentuk sejarah awal masyarakat Cocos.
Meskipun masa lalu telah berlalu, Pulau Cocos (Keeling) masih tetap memelihara kehidupan dan warisan budayanya.
Sekitar 593 penduduk menetap di pulau ini, kebanyakan adalah orang Melayu yang memeluk agama Islam, terutama di Bantam Village.
Pada masa lampau, orang Melayu Cocos mungkin lebih banyak jumlahnya, namun sebagian besar dari mereka bermigrasi ke Malaysia pada tahun 1950-an.
Walaupun demikian, kultur perkebunan kelapa masih menjadi tulang punggung ekonomi pulau ini, dengan produksi dan ekspor kopra tetap menjadi motor penggerak utamanya.
Mata uang yang berlaku di dalam aktivitas transaksi adalah Dolar Australia.
Dihuni oleh keturunan Indonesia, Pulau Cocos (Keeling) terus memancarkan kekayaan budaya Indonesia melalui seni dan hiburan.
Wayang kulit dan batik menjadi simbol dari warisan budaya yang tak terpisahkan, merayakan keberagaman dalam kesatuan. Lagu dan sinetron Indonesia tetap menjadi hiburan utama, menghadirkan aroma khas Indonesia di tengah samudera yang mempesona.
Meski berbeda secara mencolok dengan budaya mayoritas Australia, penduduk Pulau Cocos (Keeling) tetap diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat Australia.
Mereka menjadi cermin dari identitas yang kaya dan keberagaman yang melingkupi pulau terpencil ini, mengukir jejaknya dalam sejarah yang abadi.(*)