Sumber Foto: Atjeh Watch) |
Banda Aceh, AchehNetwork.com – Penunjukan Irjen Achmad Kartiko sebagai Kapolda Aceh dan Joko Purwanto sebagai harapan baru bagi masyarakat Aceh dalam hal penegakan hukum, terutama terkait program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), telah menarik perhatian publik.
Bumi Serambi Mekkah, yang dikenal sebagai tanah yang kaya dengan kebun kelapa sawit, membutuhkan tindakan tegas dalam menangani masalah yang selama ini meresahkan.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Aliansi Mahasiswa dan Pelajar Anti Korupsi (DPW Alamp Aksi) Provinsi Aceh, Mahmud Padang, mengungkapkan keprihatinannya terhadap modus operandi yang kerap terjadi dalam program PSR.
Masalah tersebut meliputi dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh pihak dinas, serta indikasi pelaksanaan program yang fiktif. Mahmud Padang menjelaskan permasalahan ini pada Sabtu malam, tanggal 14 Oktober 2023.
Mahmud mengungkapkan insiden terbaru di Aceh Tamiang, di mana mantan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan yang masih menjabat memanfaatkan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum untuk memeras sejumlah uang dari koperasi yang terlibat dalam Program PSR tahun 2022.
Pungutan seperti ini harus ditindaklanjuti oleh Kapolda dan Kejati Aceh. Mahmud berharap agar tindakan tegas diambil terhadap oknum-oknum penegak hukum yang terbukti terlibat dalam pungutan ilegal ini.
Situasi serupa juga dilaporkan terjadi di Aceh Timur, di mana terdapat indikasi permintaan sejumlah uang oleh aparat penegak hukum kepada kelompok atau koperasi penerima PSR.
Mahmud Padang menyatakan bahwa informasi yang diterima mencerminkan adanya tuntutan pembayaran sebesar Rp 800 ribu per hektar. Kelompok tersebut akan dipanggil jika tidak mematuhi permintaan tersebut.
Mahmud menekankan bahwa ini adalah bentuk pemaksaan terhadap masyarakat penerima, yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum.
Mahmud menekankan bahwa tindakan semacam ini merupakan contoh nyata dari pungutan liar yang harus diinvestigasi oleh Kejati dan Kapolda yang baru menjabat nantinya.
PSR sendiri adalah program yang seharusnya membantu petani kelapa sawit untuk memperbaharui kebun mereka dengan cara yang berkelanjutan dan meningkatkan kualitasnya. Tujuannya adalah mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal.
Setiap praktik pungutan liar menjadi penghambat bagi program yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo dalam upaya mensejahterakan petani, terutama di Aceh.
Oleh karena itu, diharapkan Kapolda dan Kejati Aceh yang baru akan bertindak tegas untuk memastikan keberhasilan program ini demi kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks lain, Mahmud Padang juga membahas isu lain yang perlu ditindaklanjuti oleh Kapolda dan Kejati Aceh yang baru, yakni dugaan pelaksanaan PSR yang fiktif di Aceh Singkil.
Terdapat indikasi bahwa program PSR pada lahan seluas ratusan hektar, seharusnya diterima oleh masyarakat, namun lokasinya tumpang tindih dengan program plasma yang dilakukan oleh perusahaan.
Dalam situasi ini, pelaksanaan PSR dapat dianggap sebagai fiktif meskipun uangnya telah dicairkan. Mahmud menyatakan bahwa keraguan terhadap penentuan lokasi penerima manfaat dan pelaporan program PSR semakin kuat.
Mahmud juga menyayangkan bahwa lahan masyarakat yang seharusnya mendapat manfaat dari program PSR malah digunakan sebagai lokasi program PSR, yang semestinya menjadi tanggung jawab perusahaan.
Hal ini merugikan masyarakat Aceh Singkil, dan ia berharap Kapolda dan Kejati yang baru akan bertindak tegas dan tidak tinggal diam terkait dugaan tersebut.
Mahmud menegaskan bahwa investigasi harus dilakukan untuk memastikan apakah situasi serupa juga terjadi di kota Subulussalam.
Alih-alih mensejahterakan petani, program PSR yang digagas oleh Presiden Jokowi harus menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat petani sawit.
Kepala dan Jaksa Tinggi Aceh yang baru diharapkan akan menjalankan peran penting mereka dalam mengawasi dan memastikan bahwa program PSR yang diluncurkan oleh Presiden benar-benar membantu petani di daerah tersebut.(*)
Sumber: Atjeh Watch