(Foto: Ist) |
Pentingnya status sosial ini tercermin dalam cara orang-orang Belanda membangun rumah mereka.
Mereka berlomba-lomba membangun rumah sebesar mungkin, semewah mungkin, dan sebagus mungkin. Bagi mereka, rumah bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga ukuran kekayaan dan gengsi.
Rumah-rumah besar itu memerlukan banyak tenaga untuk merawatnya, dan inilah mengapa mereka mengangkat budak atau babu untuk menjalankan berbagai tugas rumah tangga mereka.
Sebagian besar budak ini dibeli dari penyedia jasa, sementara sebagian lagi dicari sendiri.
Istilah “Jongos” digunakan untuk merujuk pada budak laki-laki, sementara “Babu” digunakan untuk merujuk pada budak perempuan.
Semakin banyak budak yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pula gengsinya.
Tugas seorang Babu sangat berat, mereka bertanggung jawab penuh terhadap semua pekerjaan rumah, termasuk mengurus dapur, mencuci, dan membersihkan rumah.
Bahkan, ada kasus di mana Babu harus melayani tuannya secara seksual, terutama bagi tentara atau pejabat Belanda yang tidak membawa istri atau belum menikah.
Selain tugas rumah tangga, kadang-kadang Babu juga dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar seperti membersihkan kebun dan tugas-tugas lainnya.
Budak laki-laki atau Jongos biasanya mendapat pekerjaan yang lebih berat, seperti mengurus kuda atau ternak, bahkan memelihara kebun.
Para budak ini harus patuh dan taat, karena pelanggaran atau pekerjaan yang tidak sempurna akan berakibat serius bagi mereka.
Salah satu cerita tragis datang dari seorang tuan tanah kaya pada abad ke-19 bernama Mayor Jantje. Pada tahun 1831, rumah tangga Mayor Jantje memiliki 320 budak.
Beberapa di antaranya bahkan menjadi pemain musik serba bisa, penari ronggeng, pemain gambang, penari topeng, dan bahkan budak yang dilatih untuk menjadi artis dalam rombongan sandiwara China yang berkembang pesat pada masa itu.
Lanjut Halaman 2
Halaman : 1 2 Selanjutnya