Oleh Rizki Maulizar
Pemerhati Kebijakan Publik
Korupsi di Indonesia membuat persepsi yang seringkali muncul di kalangan masyarakat, bahwa korupsi telah menjadi budaya.
Persepsi ini jelas – Jelas keliru karena tidak ada satu bangsa atau negara mana pun di dunia ini yang menjadikan korupsi sebagai budaya.
Saat ini di Indonesia korupsi terjadi karena tiga faktor, yaitu kesempatan, peluang, tekanan, dan rasionalisasi.
Sekadar kita ketahui dalam teori yang berakar dari sosiologi ini terdapat tiga kondisi yang memicu terjadinya kecurangan atau kejahatan: tekanan (masalah dilematis), peluang (kurangnya kontrol internal), dan rasionalisasi (membenarkan tindakan).
“Oleh karenanya, hal seperti itu harus dicegah. Tindakan lain yang perlu dihindari pula seperti flexing (pamer) kekayaan, no luxury goods. Karena hal-hal seperti ini juga membuat kecemburuan sosial.”
Terkait pemberantasan korupsi umumnya masyarakat hanya tahu tentang operasi tangkap tangan atau penindakan saja.
Padahal, selain penindakan yang berfungsi untuk membuat jera pelaku, ada dua pendekatan yang dilakukan juga tak kalah gencarnya dilakukan oleh KPK, yaitu pencegahan dan pendidikan.
Pendekatan pencegahan lebih memfokuskan pada perbaikan sistem sehingga mencegah terjadinya tindakan koruptif.
Sementara itu, pendekatan pendidikan melalui penyuluhan antikorupsi, salah satunya, mencetak individu-individu yang kompeten untuk menjadi penyuluh di masyarakat.
Mereka adalah Penyuluh Antikorupsi (Paksi) dan Ahli Pembangun Integritas (API) yang tersertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi KPK.
Oleh karena itu seluruh kalangan masyarakat Indonesia Khususnya Aceh untuk melawan korupsi.
Karena Ada sembilan nilai integritas yang dikenalkan oleh KPK (jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras).***
Kontributor : Rizki Maulizar
Editor : ADM Acheh Network