Achmad Marzuki (Wikipedia) |
Achehnetwork.com, News – Kekayaan dan kemiskinan, dua realitas yang terasa saling kontradiktif. Achmad Marzuki, seorang tokoh militer dan birokrat Indonesia, kini menjabat sebagai penjabat Gubernur Provinsi Aceh, yang dikenal sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera.
Namun, di balik dinamika ini, kekayaan pribadi Marzuki terkuak dalam sebuah cerminan yang menarik.
Dilahirkan pada 24 Februari 1967, Achmad Marzuki memiliki latar belakang sebagai alumni Akademi Militer tahun 1989. Ia memutuskan untuk pensiun dini dari dinas militer pada tahun 2022 setelah diangkat sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa.
Kemudian, ia melangkah ke panggung politik dengan menjabat sebagai penjabat Gubernur Provinsi Aceh sejak 6 Juli 2022.
Provinsi Aceh, sekalipun melimpah hasil alam seperti minyak dan gas bumi (Migas), masih merosot sebagai provinsi termiskin nomor satu di Pulau Sumatera dan posisi ke-6 di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022.
Dengan persentase penduduk miskin mencapai 14,75 persen, Aceh masih tergugah oleh kemiskinan yang merajalela.
Namun, di tengah gambaran ini, terlihat gambar lain yang menarik perhatian. Menjabat sebagai penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki memiliki kekayaan yang tidak sedikit.
Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini memiliki aset terbesar dalam bentuk surat berharga, sementara ia juga memiliki tanah dan bangunan senilai miliaran rupiah.
Rincian kekayaan Marzuki tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Antara lain:
- Tanah dan bangunan senilai Rp1.190.000.000 yang mencakup beberapa kawasan di Kabupaten Sidoarjo.
- Alat transportasi dan mesin senilai Rp283.000.000, termasuk mobil VW Beetle tahun 1974 dan mobil Toyota CHR tahun 2019.
- Harta bergerak lainnya senilai Rp73.350.000.
- Surat berharga senilai Rp10.000.000.000.
- Kas dan setara kas senilai Rp1.203.770.466.
Jumlah total kekayaan ini mencapai Rp12.750.120.466. Meskipun memimpin provinsi termiskin, kekayaan pribadi Marzuki menarik sorotan sebagai gambaran yang kompleks dalam konteks kemiskinan dan kekayaan di Indonesia.
Namun, perlu dicatat bahwa kemiskinan di Aceh memiliki dinamika tersendiri.
Terlepas dari kekayaan pribadi Marzuki, Provinsi Aceh perlu menemukan solusi bagi permasalahan kemiskinan yang terus menghantui.
Tindakan nyata untuk mengatasi disparitas ekonomi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi penting demi merubah gambaran provinsi yang merajut antara kekayaan alam dan kemiskinan manusia.(*)