(Direktur YLBHI – LBH Banda Aceh, Syahrul. Foto: AJNN) |
BANDA ACEH – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menanggapi langkah Presiden terkait pembukaan pelaksanaan rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.
Kegiatan tersebut dilakukan di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, yang menjadi salah satu lokasi penyiksaan selama konflik bersenjata di Aceh.
Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, menyatakan bahwa langkah tersebut merupakan upaya Presiden untuk menghapus jejak sejarah secara fisik terkait pelanggaran HAM berat di Aceh.
Selain itu, menurutnya, langkah Presiden tersebut memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat.
“Upaya penghancuran bangunan fisik yang sedang berlangsung di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM berat yang terjadi di lokasi tersebut. Ini merupakan sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat,” ujar Syahrul kepada wartawan pada Jumat, 23 Juni 2023.
Syahrul menyebut pembentukan TPPHAM oleh Presiden Jokowi menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mempertahankan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk di Aceh.
Menurutnya, dugaan tersebut diperkuat oleh kurangnya pengungkapan kebenaran terkait pelaku-pelaku dari peristiwa-peristiwa yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh TPPHAM, sehingga tidak ada rekomendasi yang terkait.
“Peristiwa tersebut jelas, korban-korbannya jelas, tetapi pelakunya sama sekali tidak terungkap,” tegasnya.
LBH menilai bahwa pemerintah secara terang-terangan menghilangkan bukti untuk kepentingan yudisial dalam pengadilan HAM. Hal ini diperparah dengan adanya penghancuran bangunan sisa Rumoh Geudong oleh pemerintah daerah, yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat.
Syahrul juga menyebut tiga sorotan yang dimiliki oleh LBH terkait penghilangan bukti pelanggaran HAM ini. Pertama, upaya mengaburkan eksistensi Komnas HAM oleh pemerintah pusat dengan menggunakan data Komnas HAM. Hal ini terlihat dari cara negara mengaburkan perintah Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Pengadilan HAM terhadap kerja Komnas HAM.
“Dua undang-undang tersebut jelas menentukan bahwa langkah penyelidikan oleh Komnas HAM dilakukan untuk kepentingan pro-justicia yang berhubungan langsung dengan hak korban, termasuk hak atas kebenaran, kepastian hukum (melalui pengadilan), pemulihan korban, dan pencegahan terjadinya pelanggaran yang serupa,” paparnya.
Syahrul menyatakan bahwa penggunaan hasil kerja Komnas HAM untuk penyelesaian kasus secara non-yudisial justru melemahkan legitimasi Komnas HAM sebagai lembaga, fungsi, dan cita-cita negara dalam menjamin pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia seluruh warga negara.
“Ini merupakan cara bagi Presiden untuk menghindari tanggung jawab dengan memanfaatkan pemulihan korban sebagai dalih semata,” tambahnya.
Kedua, menurutnya, hal ini memberikan impunitas kepada pelaku sejak awal pembentukan tim TPPHAM. Mulai dari ketiadaan upaya negara untuk mencapai kepastian hukum dalam tugas dan fungsi Tim PPHAM.
Dampaknya adalah berlanjutnya impunitas bagi individu atau kelompok yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Indonesia.
“Kasus-kasus pelanggaran HAM berat sudah memiliki mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui pengadilan HAM. Jika alasan pembentukan Tim PPHAM ini untuk mempercepat pemulihan bagi korban, seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan adanya pengadilan HAM untuk menangani kasus-kasus yang telah terjadi,” tambahnya.
Syahrul juga menambahkan bahwa dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2020, Komnas HAM telah membentuk Tim Ad-Hoc Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dengan tujuan mendorong Jaksa Agung untuk melanjutkan laporan tersebut ke tahapan penyidikan dan penuntutan, bukan menolaknya berulang kali.
“Perlu diketahui bahwa Jaksa Agung adalah jabatan politis yang diisi oleh orang yang dipilih Presiden,” tegasnya.
“Presiden Jokowi seharusnya merespons temuan Komnas HAM dengan mendorong percepatan pembentukan pengadilan HAM,” tambahnya.
Sorotan ketiga adalah upaya pemerintah untuk menjebak korban atas nama pemulihan hak. Syahrul menyatakan bahwa tidak dapat disangkal bahwa langkah inovatif untuk memulihkan korban tanpa menunggu putusan pengadilan adalah penting, mengingat korban telah lama menantikan campur tangan negara. Namun, perlu diingat bahwa pemulihan korban dan pengadilan terhadap pelaku adalah dua hal yang berbeda.
“Pemulihan korban seharusnya dilakukan oleh negara tanpa harus disertai dengan penyelesaian kasus secara keseluruhan, karena hal ini dapat menciptakan preseden buruk dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia,” jelasnya.
“Dengan kata lain, negara seolah-olah dapat melakukan pelanggaran HAM pada warganya, lalu hanya perlu membayar,” tambah Syahrul.(*)